Identitas buku
Judul :
Paris Belum Ingin Tidur
Penulis : Alfina dan Fauzan Iskandar
Penerbit : Bhuana Sastra
Tahun terbit : Cetakan pertama, 2018
Ukuran : 13 cm x 19 cm
Tebal
: 148 halaman
Sedikit Ulasan
Saat membaca puisi-puisi dalam antologi puisi berjudul
Paris Belum Ingin Tidur (PBIT), saya
langsung dapat membayangkan hiruk-pikuk kota Paris, lampu-lampu kota yang
menyorot, wisatawan dengan beragam warna kulit, dan beberapa sudut kota yang
romantis. Tidak hanya berisi kumpulan puisi, antologi puisi ini menyajikan foto-foto
yang menggambarkan keindahan kota Paris. Romantisme kota Paris pun tersaji
dalam antologi puisi ini.
Antologi PBIT ini berisi 54 judul puisi. Antologi ini dibuat oleh kakak beradik yang tinggal di Paris, Afina Iskandar
dan Fauzan Iskandar. Melalui antologi ini, kakak beradik ini seolah-olah berdialog
dari foto yang diabadikan oleh mereka berdua. Mereka berhasil memadukan
kata-kata dan keindahan di balik lensa.
Dalam puisi yang berjudul Paris Belum
Ingin Tidur yang menjadi judul antologi ini, keramaian kota Paris dapat
terlukiskan melalui petikan puisi berikut.
(1) Lampu
masih ingin berbinar
Dengarlah angin berbisik kebebasan
Lihat sana,
menara itu belum ingin meredup
Tidak juga Seine yang tak sedikit pun gugup
Kutipan puisi tersebut melukiskan kehidupan kota Paris
yang berpadu dengan keindahan alam. Hal tersebut dibuktikan oleh adanya frasa
“angin berbisik” dan kata “Seine” yang merupakan sungai yang membelah kota
Paris. Di samping itu, puisi tersebut menampilkan sudut kota Paris yang
bernuansa gotik. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(2) Ada
gemerlap bulan di atas katedral tua
Siluetnya liar, tidak cukup menakutkan
untuk membuat pianika kuno berhenti
Rantaian kereta panjang membelah sunyi
yang tak juga berkumandang sepi
Kutipan tersebut menunjukkan adanya oposisi (pertentangan) nuansa dalam
puisi tersebut. Nuansa keramaian yang ditunjukkan oleh kutipan pertama seolah
dilawan dengan nuansa gotik yang ditunjukkan oleh kutipan puisi kedua. Dengan
demikian, puisi tersebut melukiskan keindahan kota Paris dari sisi yang saling
berlawanan.
Salah satu sisi menarik dalam antologi puisi PBIT
adalah kepiawaian penulis dalam memainkan rima puisi. Hal tersebut terlihat
pada kutipan puisi berjudul Belum
Waktunya Musim Gugur berikut.
Kenapa jingga giat berburu masa (a)
Padahal daun tumbuh saja (a)
belum siap jatuh (h)
Ranting juga sedikit pun tidak rapuh (h)
Rima dalam kutipan puisi tersebut menunjukkan konvensi
puisi melayu yang memiliki aturan dalam rima bunyi akhir puisinya. Terlihat
dalam kutipan puisi tersebut pola rimanya adalah aa-bb. Contoh lain rima yang
mengikuti konvensi puisi melayu terdapat dalam puisi berjudul Macaroon berikut.
Hei hijau,
Rupamu lucu seperti dedaun
Nenek tua pun olehmu dibuat tertegun
Tapi sayang, imutmu menyerupai sabun
Kutipan tersebut menunjukkan kesamaan bunyi pada baris kedua (dedaun), ketiga
(tertegun), dan keempat (sabun). Kesamaan bunyi pada bait tersebut menunjukkan
adanya pola pengulangan bunyi dengan konvensi puisi melayu yang dikenal ketat
dalam mengatur bunyi. Kesamaan rima akhir tersebut memiliki efek ritmis yang
membuat puisi enak didengarkan dan dibacakan.
Salah satu foto di antologi PBIT
Pada akhirnya, antologi puisi PBIT sangat layak untuk dibaca. Penulis
berhasil memotret keindahan kota Paris baik dengan jepretan foto dan
pengalihwahanaan foto tersebut ke dalam bait-bait puisi. Terlepas dari adanya
pola pengulangan bunyi tersebut, puisi ini memang menunjukkan warna berbeda
dengan puisi-puisi lain yang terbit dewasa ini. Selamat membaca!
Komentar
Posting Komentar